Oleh : Muhammad Bayu Vesky
Payakumbuh | tipikal.com — City car warna merah dengan CC rendah melaju tenang di jalan tol Padang – Bangkinang. Kecepatannya 80km/jam, kadang 100km/jam.
Pengemudinya seorang pengusaha muda asal Payakumbuh yang kemarin mengurus bisnisnya ke Padang. Sekejap saja ia sudah sampai di Padang Panjang. Tak lama akan tiba di Payakumbuh, memangkas waktu tempuh yang 3.5 sampai 4 jam menjadi hanya 1,5 jam saja.
Itu mimpi anak muda Sumbar sekarang. Barangkali mimpi banyak orang. Tapi belum jadi kenyataan. Banyak benar liukannya. Akan ke akan saja.
Sumatera Barat memang unik. Pintar sendirian di atas rata-rata. Daerah lain berlomba lomba membangun infrastruktur, di sini urusan pembangunan tol maju mundur.
Itu pula modelnya. Padahal ini bukan tol inti, hanya sayap dari tol Sumatera. Tol, dihambat sebahagian orang, di tengah kesadaran kolektif akan pentingnya infrastruktur. Kadang kita mesti sabar namun tak berarti lemah apalagi mundur.
Infrastruktur jalan, merupakan hal penting dalam mobilitas orang dan barang. Salah satunya adalah jalan bebas hambatan berbayar, tol.
Sejak ground breaking tol diresmikan Presiden Widodo 9 Februari 2018 lampau untuk seksi I Padang – Sicincin, sampai kini jalur tol Pekanbaru – Padang sepanjang 254 kilometer tersebut tak siap-siap juga. Masalahnya? Apalagi kalau bukan lahan!
Paling anyar itu, penolakan lahan dilalui tol mendengung di Kabupaten Lima Puluh Kota. Ada sekelompok masyarakat yang meminta kampung mereka tidak dilewati tol. Mereka surati Japan International Cooperation Agency (JICA), sebagai pemodal pembangunan terowongan sepanjang total 8,95 kilometer.
Adalah lazim rakyat “terkejut” atas rencana proyek itu, apalagi disebut ganti ruginya kecil. Padahal jika ditanya pada penerima di Padang Pariaman, justru sangat membesarkan hati penerima.
Adalah wajar ada gugatan sosial, yang tak wajar, semua orang sudah oke, dia sendirian bersikeras. Sendiri dalam keramaian, hiruk dalam keheningan. Heboh.
Pemerintah jangan lambok tak berketentuan saja, seolah tak ada kejadian. Kalau tak pandai, upahkan hehe. Jika misi pemerintah tidak jalan dan rakyat tidak puas maka pemerintahlah yang lemah, untuk kasus jalan tol ini.
Tol Pekanbaru – Padang, dibangun di 6 seksi. Masing-masing Padang – Sicincin 28km, Sicincin – Bukittinggi 41km, Bukittinggi – Payakumbuh 46km, Payakumbuh – Pangkalan 43km, Pangkalan – Bangkinang 56km dan Bangkinang – Pekanbaru 38km.
Akhir tahun ini, ditargetkan pembangunan tol sudah tuntas sampai ke Pangkalan.
LAPOR KE PRESIDEN
Hanya saja, klaim masyarakat menolak tol yang terlanjur viral dan masif itu, terbantahkan saat bersamaan muncul pula gerakan aliansi masyarakat pendukung tol (ALMAST) di Payakumbuh dan Lima Puluh Kota. Mereka ini, lahannya terdampak dalam pembangunan tol sesi Pangkalan – Payakumbuh.
Tidak tanggung-tanggung, aktivis ALMAST ternyata sudah mendapatkan tanda tangan lebih dari 100 pemilik bidang lahan yang terdampak tol di Nagari Koto Tangah Simalanggang, Koto Baru Simalanggang, Gurun, Lubuak Batingkok dan Taeh Baruah. Kelima nagari ini berada di Kecamatan Harau dan Kecamatan Payakumbuh.
Rencana ALMAST, dalam waktu dekat bakal berkirim surat ke Presiden Joko Widodo. Surat dikirim, untuk memberi kepastian kepada Pemerintah Pusat, jika tidak semua masyarakat terdampak di Lima Puluh Kota yang menolak tol.
“Surat (untuk Presiden Jokowi) hampir siap. Kami muak, tiap sebentar saja disebut menolak tol. Faktanya bukan seperti itu, yang menolak kan hanya klaim-klaim saja. Ini proyek strategis nasional, siapa pula berhak menolak,” kata Husna, Sekretaris ALMAST.
Alumnus Universitas Indonesia itu, memastikan tidak akan gentar memperjuangkan tol lewat lahan mereka. Tempo hari, difasilitasi sejumlah tim independen percepatan tol Lima Puluh Kota, ALMAST juga menggelar pertemuan dengan Bupati. Mereka mendesak, segera mungkin Pemkab turun.
Banyak pihak meminta Bupati Lima Puluh Kota, jemput bola ke Pusat. Lalu bentuk Satuan Tugas percepatan pembangunan tol. Ini harus segera dilakukan, turunan dari tim percepatan tol Provinsi Sumatera Barat.
Jika ini dilakukan, maka mengurus lahan tol sesi Pangkalan – Payakumbuh yang bidangnya 270-an itu, tidaklah sulit. Tapi, tak kunjung jadi. Akan ke akan saja. Bukankah negara tidak boleh kalah atas klaim sebuah kelompok.
Padahal, andai sesi tol Pangkalan – Payakumbuh yg memiliki panjang 43km ini jadi, ke Riau tidaklah jauh. Dekat. Ngopi pagi di Pekanbaru, baliknya makan siang di Situjuah. Pangek cubadak yang enak itu. Ahay






