Polemik Retribusi Wisata Harau: ICBS Harau Merasa Dizalimi, Pakar Hukum dan Ombudsman Sumbar Angkat Bicara

- Jurnalis

Rabu, 5 Februari 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Lima Puluh Kota | tipikal.com – Keberadaan Pesantren Insan Cendekia Boarding School (ICBS) di Lembah Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota, telah memberikan banyak kontribusi positif bagi daerah, baik di bidang pendidikan, sosial, maupun ekonomi. Namun, pesantren ini kini menghadapi polemik dengan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lima Puluh Kota terkait retribusi kawasan wisata Harau.

Dalam dunia pendidikan, santri ICBS telah mengharumkan nama daerah, termasuk dengan membantu Kabupaten Lima Puluh Kota meraih juara umum MTQ Tingkat Sumbar 2023, di mana mayoritas kafilah berasal dari ICBS. Selain itu, ICBS juga aktif dalam kegiatan sosial, seperti memberikan ratusan beasiswa bagi anak yatim dan kurang mampu, bantuan untuk masjid, tanggap bencana, serta kontribusi dalam pembangunan infrastruktur di sekitar Harau.

Dari segi ekonomi, keberadaan ICBS Harau juga membawa dampak positif. Banyaknya wali santri yang berkunjung membuat ekonomi setempat bergeliat, dengan tumbuhnya bisnis homestay, kuliner, dan sektor lainnya. Lembah Harau yang sebelumnya sepi kini semakin ramai dikunjungi.

Namun, di tengah kontribusi positif ini, muncul persoalan dengan Pemkab Lima Puluh Kota, khususnya Dinas Pariwisata dan Olahraga (Disparpora). Disparpora mengirimkan surat teguran kepada ICBS terkait tunggakan retribusi dan mengancam akan menggugat ICBS melalui jaksa pengacara negara. Langkah ini memicu reaksi keras dari masyarakat, terutama di media sosial, di mana banyak yang mempertanyakan kebijakan Pemkab.

“Terus terang, saya melihat ekonomi Harau semakin baik sejak adanya ICBS. Dulu, Harau jarang dilirik orang untuk berwisata. Seharusnya Pemda bersyukur dengan dampak ekonomi yang timbul akibat keberadaan ICBS ini,” ucap salahsatu warganet, akun Alfazz.

Senada dengan itu, akun Macmekra juga menyatakan keheranannya, “Masa iya wali murid yang ingin melihat anaknya sekolah harus bayar? Mana yang lebih dulu, sekolahnya di sana atau viralnya wisata Lembah Harau? Sampai segitunya pihak sekolah harus membayar?”

Menanggapi polemik ini, Pengurus Yayasan ICBS, Mustafa, SP, menjelaskan bahwa sesuai Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, orang tua atau wali santri ICBS tidak termasuk dalam definisi wisatawan.

Baca Juga :  Pengurus Karang Taruna Lima Puluh Kota Periode 2023-2028 Dikukuhkan, Bupati: Karang Taruna Harus COGA

“Mayoritas orang tua santri mengunjungi ICBS Harau untuk melihat, menjemput, dan mengantarkan anak mereka, serta keperluan administrasi lainnya yang berkaitan dengan aktivitas pendidikan,” ujarnya.

Ia juga menegaskan bahwa ICBS tidak termasuk dalam kategori objek wisata berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Lima Puluh Kota No. 7 Tahun 2016 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan. Dalam daftar daya tarik wisata yang ditetapkan dalam perda tersebut, ICBS tidak termasuk, sementara yang terdaftar antara lain Sarasah Bunta, Aka Barayun, dan Ngalau Seribu.

“Karena itu, penerapan Perda Kabupaten Lima Puluh Kota No. 2 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tidak dapat diberlakukan terhadap ICBS Harau. Kegiatan di ICBS adalah pendidikan dan keagamaan, bukan kepariwisataan,” kata Mustafa.

Mustafa juga menambahkan bahwa pihak ICBS sebenarnya telah melakukan pertemuan dengan Disparpora untuk mencari solusi legal agar pembayaran retribusi tidak dianggap pungutan liar di kemudian hari. Namun, tanpa kesepakatan yang jelas, Disparpora tetap mengenakan retribusi kepada semua kendaraan berstiker ICBS yang masuk kawasan Harau, meskipun tujuan mereka hanya untuk urusan pesantren.

Pakar hukum yang juga Wakil Rektor Universitas Islam Sumatera Barat, Miko Kamal, turut memberikan pandangannya. Menurutnya, retribusi hanya bisa dikenakan jika pemerintah memberikan pelayanan tertentu kepada pihak yang dikenai pungutan.

“Yang harus dipastikan adalah apakah pemerintah memberikan pelayanan kepada setiap mobil yang masuk dengan tujuan ICBS. Karena area itu merupakan kawasan pariwisata, pertanyaannya, apakah pemerintah memberikan layanan pariwisata kepada setiap mobil yang lewat gerbang pemungutan karcis masuk?” ujarnya.

Ia menilai bahwa jika tujuan wali santri hanya untuk mengantar atau menjemput anak, maka retribusi wisata kurang tepat diterapkan kepada mereka.

Baca Juga :  Peringatan HBN Ke-74, Optimisme Untuk Monumen Nasional PDRI Koto Tinggi

Kepala Ombudsman Sumbar, Adel Wahidi, juga angkat bicara mengenai polemik ini. Menurutnya, Pemkab Lima Puluh Kota harus lebih cermat dalam menerapkan retribusi wisata.

“Perlu dicek kembali peraturan tentang retribusi dan pengelolaan wisata. Apakah ICBS Harau termasuk tempat wisata atau tidak? Jika yang dimaksud sebagai kawasan wisata adalah objek tertentu seperti Sarasah Bunta dan Aka Barayun, maka ICBS tidak bisa dikategorikan sebagai tempat wisata,” jelasnya.

Ia juga menyoroti legalitas ICBS sebagai lembaga pendidikan yang telah mendapat izin dari Pemkab.

“Pemkab Lima Puluh Kota sudah memberikan izin pendirian sekolah di sana. Itu artinya ICBS bukan tempat wisata. Maka perlu dikaji lebih cermat, apakah sudah tepat menerapkan tarif wisata kepada orang yang urusannya pendidikan atau sekolah, bukan untuk berwisata,” tambahnya.

Untuk menyelesaikan polemik ini, Adel menyarankan agar Pemkab dan ICBS duduk bersama untuk meninjau ulang regulasi yang ada.

“Agar tidak ada pihak yang dirugikan, perlu dikaji ulang: apakah yang disebut kawasan wisata Harau itu mencakup seluruh area, atau hanya beberapa objek wisata tertentu. Dengan demikian, kebijakan pemungutan retribusi bisa diterapkan secara lebih tepat,” pungkasnya.

Polemik ini memperlihatkan perlunya kejelasan regulasi terkait retribusi di kawasan wisata Harau. Jika ICBS memang tidak termasuk dalam daftar objek wisata resmi, maka kebijakan pemungutan retribusi terhadap wali santri dan tamu pesantren perlu dikaji ulang.

Sebaliknya, jika Pemkab tetap ingin memberlakukan retribusi, maka harus ada kesepakatan bersama agar pembayaran yang dilakukan memiliki dasar hukum yang jelas dan tidak dianggap sebagai pungutan liar.

Sebagai langkah penyelesaian, dialog antara Pemkab Lima Puluh Kota, ICBS, dan pihak terkait lainnya menjadi hal yang mendesak untuk menghindari konflik berkepanjangan dan memastikan kebijakan yang diambil dapat diterima oleh semua pihak. (tpk)

Berita Terkait

Polres 50 Kota Gelar Operasi Keselamatan Singgalang 2025, Fokus Edukasi dan Penegakan Hukum
Safni Sikumbang Ahlul Badrito Resha Resmi Ditetapkan Sebagai Bupati Dan Wakil Bupati Lima Puluh Kota 2025-2030
Polres 50 Kota Bersama Kelompok Tani Perkuat Ketahanan Pangan di Lubuak Batingkok
Pemkab Lima Puluh Kota Dukung Penuh Pemeriksaan Pendahuluan LKPD 2024 oleh BPK
Kampuang Wisata Sarugo Raih Penghargaan Internasional di ASEAN Tourism Award 2025
Kampuang Wisata Saribu Gonjong Raih Penghargaan Internasional di ASEAN Tourism Award 2025
Dodi Arestu Resmi Dilantik sebagai Ketua Pordasi Lima Puluh Kota, Berkomitmen Majukan Olahraga Berkuda dan Peternakan Kuda
Peluncuran IAD HATTA dan Penanaman Serentak se-Sumbar, Lima Puluh Kota Dapat Hibah Rp 1,8 Miliar

Berita Terkait

Senin, 10 Februari 2025 - 18:15 WIB

Polres 50 Kota Gelar Operasi Keselamatan Singgalang 2025, Fokus Edukasi dan Penegakan Hukum

Rabu, 5 Februari 2025 - 19:21 WIB

Polemik Retribusi Wisata Harau: ICBS Harau Merasa Dizalimi, Pakar Hukum dan Ombudsman Sumbar Angkat Bicara

Rabu, 5 Februari 2025 - 18:59 WIB

Safni Sikumbang Ahlul Badrito Resha Resmi Ditetapkan Sebagai Bupati Dan Wakil Bupati Lima Puluh Kota 2025-2030

Rabu, 5 Februari 2025 - 12:50 WIB

Polres 50 Kota Bersama Kelompok Tani Perkuat Ketahanan Pangan di Lubuak Batingkok

Selasa, 4 Februari 2025 - 12:58 WIB

Pemkab Lima Puluh Kota Dukung Penuh Pemeriksaan Pendahuluan LKPD 2024 oleh BPK

Berita Terbaru