Riza Falepi: “Jadikan Tantangan sebagai Peluang”

- Jurnalis

Minggu, 18 September 2022

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh : Riza Falepi

Masalah Sitinjau Lauik

Payakumbuh | tipikal.com — Beberapa waktu lalu pemberitaan dan media sosial dihebohkan dengan bencana longsor cukup parah yang terjadi di kawasan Sitinjau Lauik, Lubuk Kilangan, Kota Padang. Selain persoalan longsor juga beredar di media sosial tentang adanya keributan yang terjadi di depan Gubernur Sumatera Barat terkait solusi dalam penyelesaian masalah tersebut.

Saya melihat di Sitinjau Laut terjadi persoalan longsor yang cukup parah, namun di media sosial kita lihat ada keributan di depan pak Gubernur yang menurut kami kurang santun, namun apa daya keributan ini telah terjadi kemudian saling menyalahkan.

Sebenarnya permasalah Sitinjau Laut ini adalah sebuah peluang yang harus diselsaikan, bukan hal yang perlu dipertentangkan apalagi menjelek-jelakkan Gubernur yang dianggap tidak mampu menyelesaikan masalah. Seharusnya kita memberikan usulan kepada Gubernur hendak diapakan Sumatera barat ini. Dengan istilah “Basamo Mangko Manjadi” adalah tagline yang perlu kita bunyikan disetiap pembangunan yang dilakukan di Sumatera Barat.

Sayang saya sendiri juga tidak mengerti kenapa kondisi ini dibiarkan berlarut-larut dan ini terindikasi ada persoalan kepemimpinan yang perlu dibereskan dan dicarikan jalan keluarnya

Beberapa waktu lalu ada salah satu solusi yang diberikan oleh seorang anggota DPRD yaitu dengan membuat jalan layang seperti di Kelok 9 itu adalah sebuah solusi juga, namun perlu diingat itu adalah sebuah solusi yang mahal dan belum tentu menyelesaikan masalah.

Belum tentu menyelesaikan masalah yang saya maksud disini adalah jalan Sitinjau Laut ini biasanya dipakai oleh truk-truk yang melintasi jalur Padang-Solok terus ke lintas Sumatera jalur tengah. Persoalannya adalah membuat jalan layang tersebut diperkirakan menghabiskan biaya kurang lebih 5 sampai 6 triliun Rupiah.

Sementara jalan Sitinjau Laut itu tidak hanya di lokasi tersebut yang susah untuk dilewati truk, namun lintas atasnya tetap juga berat untuk dilewati. Oleh karena itu persoalan ini mungkin lebih baik kita selesaikan dengan cara pendekatan seperti yang dilakukan oleh bapak Andrinof Chaniago ketika membuka jalan ke tempat wisata Mandeh dan itu terbukti menghadirkan tempat pariwisata yang baru dan cukup menarik yang kedepannya diperlukan peran swasta sehingga menciptakan multiplier efect yang akan bergulir dengan sendirinya

Ini yang saya heran kenapa pemerintah dan anggota DPR/DPRD tidak bersuara dan mencarikan jalan terbaik. Menurut kami solusi alternatif adalah membuatkan jalan baru dari Padang ke Solok dan memadukan planning ini dengan rencana pariwisata jangka panjang.

Saya berharap tim pariwisata yang dibuat oleh pemerintah provinsi bersuara keras tentang ini. Saya membayangkan sebuah mimpi dimana Sitinjau Laut ini tidak lagi dilewati oleh truk-truk besar karena Sitinjau Laut ini rawan longsor, rawan terguling dan rawan terhadap sopir truk yang belum berpengalaman, rawan rem blong, dan pokoknya tidak cocok jalan itu sebagai lintasan truk atau logistik. Kita membayangkan misalnya Sitinjau Laut seperti puncak pas bagi orang Jakarta, demikian juga bagi orang Padang.

Ketika membuat fly over yang diusulkan oleh anggota DPR tersebut, bagi kami itu terlalu mahal dan merupakan solusi yang terlalu mahal dari sisi kajian benefit to cost analysis karena jalan yang hanya satu fly over yang bisa dibuat sementara jalan ke atasnya pendakian masih jauh bagi truk, maka kesimpulan kita adalah jalan Sitinjau Laut sudah tidak layak dilewati oleh truk. Sederhananya bayangkan mobil truk mendaki dan menurun dengan gigi satu hampir sepanjang Padang – Solok. Berapa pemborosan solar, keausan mesin dan bahaya kecelakan.

Saya mengusulkan jalan Sitinjau Laut dijadikan daerah wisata yang dilewati oleh mobil-mobil kecil seperti halnya orang Jakarta yang pergi ke puncak. Jalan truk dialihkan pada jalur yg lebih baik, aman, landai dan tidak tajam pendakiannya, Itu adalah solusi terbaik. Nanti secara pengaturan tata ruangnya tentu melibatkan pemerintah pusat dan provinsi dalam mengatur tata ruanganya di Kementerian Kehutanan bersama pemerintah daerah. Bagian dari rencana tata ruang kedepan tentu harus ditata ulang kembali jalur Sitinjau Laut tersebut. Sementara untuk jalur truk, kita buatkan jalur alternatif yang lebih efisien.

Jalan alternatif yang paling bagus adalah jalan Padang ke arah Bukittinggi dan belok ke arah Asam Pulau dimana itu melewati kantor Bupati Padang Pariaman. Dengan melewati kantor Bupati Padang Pariaman maka kantor Bupati Padang Pariaman menjadi hidup dan tidak sunyi dengan hutan yang ada di kawasan tersebut. Alternatif lain sekitar Kayu Tanam dibuat jalan ke arah Sumpu. Trase nya kita cari yang terbaik.

Kami sudah melihat dari google map, dari jalan lintas Padang-Bukittingi masuk ke arah dalam itu sudah ada jalan lebih kurang 10 KM, jalan ini bisa kita perlebar yang penting bisa dilewati oleh truk. Jadi kita tinggal menambah jalan baru sepanjang 10 KM lagi kita sudah keluar di perbatasan Sumpu Malalo. Jalan 10KM yang kita buat ini dengan asumsi biayanya sekitar 5 juta, maka kita butuh dana 50 Milyar rupiah untuk membuka jalan baru tersebut. Bandingkan dengan dana yang dijadikan solusi menggunakan fly over Sitinjau Laut tersebut, sangat jauh selisihnya.

Jalan ini sudah kami pelajari dari google map dan peta tapak ada beberapa keuntungan jalur ini. Pertama jalannya landai dan layak untuk truk. Ini akan menaikkan efisiensi. Kalau melewati Sitinjau Laut, truk itu naik dengan gigi 1 dan turun dengan gigi 1. Kalau di jalur yang saya gambarkan tadi diperkirakan bisa memakai gigi 2 dan jalurnya juga lebih pendek dan membuat biaya per kilometer logistiknya menjadi lebih murah.

Kemudian dari Malalo kita perlebar jalan keluar di Sumani dan terus ke Solok. Inilah yang akan dijadikan alternatif bagi truk-truk yang akan lewat kemudian jalan ini tentu perlu diperlebar. Kemudian jika turis yang turun di BIM Dimana jaraknya kalau tembus ke Danau Singkarak hanya membutuhkan waktu 45 menit. Bandingkan BIM- Bukittinggi, belum macetnya, sangat menyita waktu, nggak layak kalau terlalu lama untuk tujuan wisata dari bandara. Bandingkan Pantai Kuta yang dengan jalan kaki bisa sampai ke bandara. Itulah kelemahan kita bahwa Sumbar pusat wisatanya semua jauh dari bandara.

Di Danau Singkarak sangat banyak puncak yang indah, hotspot wisata, alam yang sepertinya diciptakan saat Tuhan tersenyum. Di Malalo ada puncak Makau dan disana tempat paralayang internasional berlatih. Dari puncak ini memandang Danau Singkarak ibarat kita sedang berada di Swiss. Puncak seperti puncak Makau ini banyak jumlahnya di sekitar Danau Singkarak, Malalo dan Sumpu. Dan ini adalah potensi wisata yang sangat luar biasa. Usulan jalan ini akan lebih dekat lagi kalau menggunakan terowongan tol, paling juga biaya sekitar 5-6T juga, sama atau mirip dangan biaya fly over Sitinjau Laut.

Jalan ini juga akan sangat bagus ketika jalur padat seperti lebaran dan libur sekolah. Dengan adanya jalur jalan ini yang truk juga bisa lewat maka efisiensi logistik terselesaikan dan potensi wisata kita berkembang dengan pesat. Pariwisata dipastikan berkembang pesat mulai dari Padang Pariaman, Tanah datar sekitar danau maupun ke arah Priangan dan Batu Sangkar, dan juga Solok dan tentu akan sangat kompetitif.

Pariwisata sekitar Danau Singkarak tentu akan mendatangkan PAD kepada 3 kabupaten tersebut dan tentu juga bagi Sumatera Barat. Kita ambil contoh daerah Badung salah satu kabupaten yang ada di Bali, ketika sebelum pandemi Covid-19, PAD nya mencapai 7 sampai 8 triliun Rupiah. Kita tidak perlu sebanyak itu, cukup PAD masing-masing kabupaten sekitar 500 milyar per tahun sudah sangat mengangkat pertumbuhan ekonomi dan infrastruktur daerah sehingga membuat daerah kita ” Labiah Tacelak“.

Jadi tantangan jalan Sitinjau Laut membuka peluang alternatif jalur via Asam Pulau atau Kayu Tanam, mana yang terbaik sesuai kajian lebih dalam. Tentu kawasan Danau Singkarak, puncak hotspot seperti Makau, dan kawasan sekitar kantor Bupati Padang Pariaman dijadikan potensi wisata baru dan akhirnya akan menjadi pusat pertumbuhan baru serta pusat kota baru bagi masyarakat Padang Pariaman. Itu adalah sebuah kegembiraan tersendiri bagi masyarakat sekitar jika ini terealisasi, maka jadilah pariwisata Sumatera Barat memiliki kawasan bagus dengan akses ke bandara cukup dekat. Ini tentu akan memberikan sumber penghasilan yg banyak bagi masyarakat Piaman, Solok dan Tanah Datar. Artinya dengan anggaran tertentu kita bisa meletuskan potensi baru sumber penghasilan besar bagi rakyat, termasuk efek multipliernya. Berpikir seperti ini penting, dan perlu untuk diperjuangkan bersama.

Tentu nanti masalah penata ruang dan lainnya masing-masing kita harus mempersiapkan dengan baik dan terencana sehingga semuanya tidak asal tumbuh ditempat tempat pariwisata itu dan nyaman dikunjungi oleh banyak pihak. Inilah yang barangkali pembangunan berbasis pariwisata yang sering kita lupakan dimana tidak ada keterkaitan antara dinas pariwisata dengan orang yang merencanakan infrastrukturnya sendiri. Sehingga yang terjadi berjalan sendiri-sendiri. Bayangkan uang 5 triliun itu tidak perlu dijadikan fly over namun dijadikan untuk membangun jalan. Ini akan menjadi sangat luar biasa dan tidak membahayakan bagi supir truk yang melintasi jalan tersebut. Memang ada ide lain yaitu membuat jalan dari Lubuk Minturun ke Paninggahan. Itu terlalu jauh dan jaraknya diperkirakan 42 KM. Kemudian kemiringannya juga tajam sekali. Pemikiran alternatif jalan harusnya menimbang kemiringan, efisiensi logistik dan dampak pariwisatanya.

Hal-hal seperti ini kita terkadang lupa dan tidak berinovasi untuk berfikir out of the box karena itu banyak tantangannya. Tantangan pertama yaitu hutan lindung, hutan lindung perlu diselaraskan dengan pemerintah pusat bagaiamana menyelesiakan permasalahan ini. Di sinilah kebersamaan dg tokoh minang, anggota dpr, rantau dan ranah, dll dikondisikan. Tantangan kedua adalah bahwa kadang kada berpikir penyelesaian ini tentu tidak akan selesai dalam 1 periode kepemimpinan, maka harus ada kesadaran nanti kepemimpinan berikutnya untuk melanjutkannya, ibaratnya “kito guguah basamo-samo” Karena ini untuk kebaikan Sumatera Barat. Ini juga membuat pariwisata Tanah Datar, Solok dan Piaman jadi kompetitif karena dapat mempersingkat jalan ke tempat pariwisata lainnya juga di sekitar kabupaten tersebut seperti ke Pagaruyuang, Priangan dan sebagainya. Masalah ketiga tentu tantangan anggaran namun harusnya tidak masalah kalau membawa anggaran 5-6 Trilyun untuk fly over bisa, asal kito pasamoan.

Inilah yang kita maksud merobah tantangan menjadi peluang. Kita perlu memberikan terobosan pembangunan yang baru untuk masyarakat se Sumatera Barat. Terobosan yang juga harus didukung oleh tokoh politik, senior Minang, pengusaha Minang, birokrat dan lain-lain agar menjadi kerja besar kita baik bagi urang ranah maupun urang rantau.

Saya sangat sedih karena kita hanya ribut soal tol, ribut soal Sitinjau Laut tapi minim solusi. Mari kita seluruh kepala daerah konsisten dan mendorong untuk dukungan yang kuat dalam menyelesaikan persoalan seperti ini. Kalau perlu dibuat pertemuan bersama tokoh Minang untuk kemajuan ranah, Karena ini tidak mungkin dibiarkan saja dan harus ada solusi terbaiknya sehingga timbul multiplier effect bagi ranah untuk memacu pertumbuhan dengan membuat titik hotspot pertumbuhan baru.

Jika pariwisata bagus dalam pengelolaannya, jangankan turis asing atau lainnya malah perantau saja yang datang dengan frekuensi yang lebih sering tentu adalah market yang sudah captive. Bagaimana akan lebih sering itulah PR kita. Apalagi ditambah turis lokal dan manca negara. Artinya potensi pariwisata kita dengan modal dasarnya perantau sudah lebih dari cukup untuk memperkaya kampung kita. Ditambah dengan potensi turis lokal maupun manca negara.

Pembangunan pariwisata di Sumbar harus didukung oleh konsep infrastruktur yang baik, saling terkait dan memberikan efek kuat kepada pariwisata itu sendiri, bukan jalan sendiri sendiri. Kalau kita tidak berfikir infrastruktur yang berorientasi pariwisata maka Sumbar ini makin lama akan tertinggal, lama-lama ranah ini menjadi barang antik dan tidak akan berkontribusi bagi pertumbuhan Sumbar, apalagi ekonomi nasional.

Besar harapan saya untuk kedepannya kita secara bersama-sama seluruh kepala daerah dan stake holder terkait memperhatikan urusan ini demi kemajuan pembangunan dan pariwisata di Sumatera Barat. jadilah kita orang yang memberikan solusi bagi Sumatera Barat bukan menjadi masalah bagi Sumatera barat Barat. Wallohuallam bishowab. (*)

Berita Terkait

Pemko Payakumbuh Sambut Rakerda IV IWAPI Sumbar 2025, Tegaskan Komitmen Dukung UMKM Perempuan
Sekolah Jadi Garda Depan, Pemko Payakumbuh Libatkan Dunia Pendidikan Tangani Darurat Sampah
A Week in Harau Valley Payakumbuh, and the Puzzle of Minangkabau Matriarchy
Wisatawan Italia Terpukau Budaya Matrilineal Minangkabau, Diskusi Hangat di Payakumbuh
Italian Traveler Fascinated by Matrilineal Minangkabau Culture During Visit to Payakumbuh
38 Tahun Mengabdi, BPBD Kota Payakumbuh Lepas Syafrizal dalam Kegiatan Pelatihan Tanggap Darurat Bencana
LKKS Payakumbuh Tegaskan Komitmen Dukung Pemerintah dalam Kesejahteraan Sosial
Indeks RB Naik, Pemko Payakumbuh Siapkan Langkah Strategis 2025
Tag :

Berita Terkait

Rabu, 2 Juli 2025 - 22:47 WIB

Pemko Payakumbuh Sambut Rakerda IV IWAPI Sumbar 2025, Tegaskan Komitmen Dukung UMKM Perempuan

Kamis, 19 Juni 2025 - 00:02 WIB

Sekolah Jadi Garda Depan, Pemko Payakumbuh Libatkan Dunia Pendidikan Tangani Darurat Sampah

Kamis, 12 Juni 2025 - 13:09 WIB

A Week in Harau Valley Payakumbuh, and the Puzzle of Minangkabau Matriarchy

Rabu, 4 Juni 2025 - 18:13 WIB

Wisatawan Italia Terpukau Budaya Matrilineal Minangkabau, Diskusi Hangat di Payakumbuh

Rabu, 4 Juni 2025 - 18:09 WIB

Italian Traveler Fascinated by Matrilineal Minangkabau Culture During Visit to Payakumbuh

Berita Terbaru

Bupati / Wakil Bupati Lima Puluh Kota

Pemkab Lima Puluh Kota Gelar Salat Istisqa, Ikhtiar Hadapi Kemarau Panjang

Sabtu, 5 Jul 2025 - 17:36 WIB