Payakumbuh | tipikal.com – Di Kelurahan Koto Panjang, Kecamatan Lamposi Tigo Nagari (Latina), sebuah spanduk yang berisi penolakan terhadap Supardi sebagai calon Wali Kota muncul dan menimbulkan kontroversi. Namun, sejumlah tokoh masyarakat menegaskan bahwa spanduk tersebut hanya mencerminkan pandangan segelintir oknum warga dan bukan representasi dari suara masyarakat Koto Panjang. Mereka menduga ada motif politik di balik pemasangan spanduk tersebut menjelang Pilkada.
M. Erdi Sahida, salah satu tokoh muda di Koto Panjang, menyatakan bahwa pemasangan spanduk ini kemungkinan besar disebabkan oleh dendam pribadi dari oknum tertentu, yang berpotensi ditunggangi kepentingan politik.
“Kita sudah tahu siapa yang memasang, dan kami pastikan itu bukanlah suara warga. Ini lebih kepada masalah pribadi, dan kita menduga kuat ada lawan politik Supardi di belakangnya yang memotori,” ujar Erdi, Selasa, (1/10/2024).
Sejalan dengan itu, salah satu tokoh masyarakat yang enggan disebut namanya juga menegaskan bahwa masyarakat Koto Panjang tidak pernah menolak kehadiran calon mana pun untuk berkampanye atau bersosialisasi. Menurutnya, pemasangan spanduk tersebut dilakukan oleh satu atau dua orang saja, dan hal ini tidak mencerminkan pandangan warga secara keseluruhan. “Kami terbuka bagi siapa saja yang ingin berkampanye di sini,” katanya.
Kasus pemasangan spanduk ini pun telah menjadi perhatian Bawaslu dan Camat Lamposi Tigo Nagari. Menurut mereka, tindakan ini berpotensi melanggar pidana pemilu, sebagaimana diatur dalam Pasal 187 UU No. 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Wali Kota, dan Bupati. Undang-undang ini menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja mengacaukan atau menghalangi jalannya kampanye dapat dipidana penjara minimal satu bulan hingga enam bulan, serta denda mulai dari Rp600.000 hingga Rp6.000.000.
Supardi, yang disebut-sebut menjadi korban penolakan dalam spanduk tersebut, menyatakan bahwa pemberitaan mengenai pertemuan di Agamjua Cafe yang dikaitkan dengan masalah ini telah dilebih-lebihkan.
“Berita tersebut sudah ditambah bumbu, dan oknum wartawan yang mengonfirmasi ke saya tidak menanyakan soal pertemuan itu, tetapi soal spanduk,” jelasnya. Dia juga mengkritik cara pemberitaan yang menurutnya tidak sesuai dengan kode etik jurnalistik.
Seorang relawan Supardi, Buya Zuhairi, turut angkat bicara mengenai situasi ini. Menurutnya, apa yang terjadi di Koto Panjang, termasuk pemberitaan yang beredar, merupakan bagian dari skenario politik lawan. Dia juga menambahkan bahwa kejadian di Agamjua Cafe pada tahun 2019 anehnya baru sekarang digoreng menjadi isu politik, padahal Supardi juga maju sebagai caleg DPRD pada 2024.
Menyikapi tuduhan bahwa pemberitaan ini merupakan pesanan politik, Ketua PWI Payakumbuh-Lima Puluh Kota, Aspon Dedi, memberikan peringatan kepada para wartawan agar tetap mematuhi Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Menurutnya, wartawan harus bersikap netral dalam setiap perhelatan politik, termasuk Pilkada.
“Wartawan tidak boleh memanfaatkan media untuk menyerang seseorang atau pihak tertentu, karena hal itu mencederai fungsi pers sebagai pilar demokrasi,” tegas Aspon Dedi. Dia berharap kejadian ini dapat menjadi pelajaran bagi para jurnalis untuk menjaga integritas dan profesionalisme dalam menjalankan tugas mereka.
Dengan perhatian yang kini mengarah pada dugaan pelanggaran pidana pemilu serta keterlibatan media dalam konflik politik, masyarakat diharapkan tetap bijak dalam menyikapi berbagai informasi yang beredar, terutama di masa kampanye seperti ini. (tpk)