(Hari Ini Dua Tahun Yang Lalu)
tipikal.com — Baru-baru ini ketika berkunjung ke Sumatera Barat, Presiden Joko Widodo meletakkan batu pertama pembangunan jalan tol dari Padang ke Pekanbaru. Selaku masyarakat kita tentu senang jika terwujud, karena jalan yang ada saat ini sudah tidak mampu menambah beban kendaraan yang ada. Sebab, jumlah kendaraan sudah sangat jauh bertambah dibandingkan dengan laju pertambahan atau pelebaran jalan.
Disisi lain ini berkah, sebab secara kasat mata, saya berfikir seperti orang kebanyakan di Ranah Minang atau Payakumbuh lah, dengan adanya jalan tol tersebut, bisa-bisa ke Bandara Internasional Minangkabau (BIM) cuma 1 s/d 2 jam. Mungkin bagi warga di Kota Padang, hal ini tidak begitu terasa manfaatnya, tapi bagi warga Payakumbuh, Bukittinggi atau orang-orang di daerah, hal ini sangat terasa manfaatnya.
Sebagaimana kita ketahui, terkait rencana pembangunan jalan tol ini, terjadi pro dan kontra di masyarakat kita. Ada yang setuju dan ada yang menolak. Bahkan sebagian ada yang memberi usulan lain berupa pengaktifan kembali jalur kareta api.
Untuk yang menolak tentu sebaiknya menyertakan dengan solusi. Sebab bagaimanapun, dari realitas yang ada, kita perlu solusi dari ketimpangan jalan dan volume kendaraan. Apalagi dari sudut pandang pemerintahan, kita harus berfikir bagaimana memberi pelayanan yang terbaik bagi masyarakat. Apalagi ditataran pemerintah pusat yang tengah gencar membangun infrastruktur ditengah keterbatasan dana APBN, tentu skala prioritas akan menjadi pertimbangan utama. Tidak mudah mengakses dana APBN untuk proyek infrastruktur besar seperti jalan tol. Kesempatan ini tentu tidak boleh disia-siakan.
Pertanyaan kemudian adalah, apa imbal balik atau nilai tambah perekonomian dari keberadaan jalan tol ini bagi kita di Sumatera Barat.?
Sebagai orang di pemerintahan dalam posisi saya sebagai kepala daerah, saya melihat tentu ada dampak ekonomi bagi kita. Salah satunya adalah dampak positif bagi perkembangan pariwisata kita.
Saya melihat, prinsip utama dalam memajukan pariwisata khususnya meningkatkan kunjungan wisatawan ada dua hal. Pertama, daya tarik wisata itu sendiri dan kedua, aksestabilitas (kemudahan dijangkau).
Kalau daya tarik wisata, kita di Sumbar sudah cukup bagus. Menjualnya tidaklah sulit. Akan tetapi kita punya problem dipoin kedua, yaitu aksestabilitas. Kebanyakan objek wisata strategis kita jauh dan lama dijangkau dari bandara.
Jalan yang tersedia untuk mengaksesnya pun sering macet, atau padat merayap. Misalnya jalur Padang-Bukittinggi. Perjalanan yang normalnya bisa ditempuh waktu 1-2 jam, bisa menjadi 3-4 jam bahkan lebih pada kondisi saat ini. Hal ini tentu membuat keengganan tersendiri bagi wisatawan atau bahkan pelaku wisata untuk mengarahkan wisatawan ke daerah kita.
Penikmat wisata sebetulnya berharap, akses kelokasi wisata tidak lebih satu jam dari bandara. Seperti Bali misalnya, objek wisata Pantai Kuta sangat dekat dari Bandara Ngurah Rai, bahkan saking dekatnya bisa diakses dengan jalan kaki saja.
Oleh karena itu, terkait dengan rencana pembangunan jalan tol ini, sebaiknya betul-betul mempertimbangkan akses ke lokasi wisata strategis di Sumbar. Saya sendiri menyarankan agar kita merubah trase jalan yang ada.
Konsep ini sebetulnya bisa mempertemukan antara pihak yang pro dengan yang kontra dalam hal pembangunan jalan tol tersebut. Sebab dengan membuat jalan tol yang mempertimbangkan akses ke pusat-pusat wisata kita, serta juga memperbanyak tempat peristirahatan yang memberikan akses berjualan bagi masyarakat semacam rest area, maka ekonomi masyarakat Sumbar insyaAllah akan terangkat.
Untuk trase jalan tol yang mempertimbangkan akses kedaerah wisata, kalau boleh kami mengusulkan agar jangan melewati atau menyusur jalan existing. Lebih baik membangun sebuah trase dengan jalur sebagai berikut, Padang – Sicincin – Malalak (sebelum Malalak dibuat exit tol ke Puncak Lawang dan Danau Meninjau). Di Malalak dibuat terowongan yang keluarnya ke Koto Gadang. Disana juga perlu dibuatkan exit tol karena memiliki pemandangan yang bisa dinikmati oleh para wisatawan.
Kemudian jalur jalan dilanjutkan dengan menyusur pinggir Ngarai Sianok – Gadut – Kamang – Biaro dan Baso. Di Baso dibuat cabang nya, satu ke arah Pagaruyung Batusangkar dan satunya lagi kearah Payakumbuh kemudian ke Pekanbaru.
Jika dana memadai, maka bisa saja dari Pagaruyung dibuat jalur baru menuju Pariangan – Batipuh, lalu sedikit menyusur Danau Singkarak. Lalu dibuat terowongan menembus bukit dan keluar di dekat Lubuk Alung, Padang Pariaman.
Konsep diatas, kami pikir sudah memberikan akses kepada seluruh daerah wisata di Sumbar, kecuali Mentawai dan Pesisir Selatan. Khusus untuk kawasan Mandeh, bisa diakses dengan moda transportasi dari bandara berupa kareta cepat dan membuat jalan tol disepanjang selatan bypass Padang menuju Teluk Bayur. Menjelang Teluk Bayur bisa dibuat terowongan yang langsung tembus ke jalan baru Bungus Mandeh.
Saya yakin dengan konsep ini sepanjang tidak ada permainan rente dan sejenisnya terhadap pembangunan jalan tol ini, nantinya akan ada investor yang mau dan tertarik berinvestasi. Karena dia tidak mengambil untung dijalan tol, tetapi dari pusat-pusat wisata yang aksesnya dia kuasai.
Disinilah kita orang minang, mulai dari Gubernur sampai tokoh-tokoh Sumbar dan masyarakat lokal terkait, harus “duduak basamo” dengan investornya. Bagaimana mengambil keuntungan bersama dari keberadaan jalan tol yang ramah pariwisata tersebut.
Saya sendiri secara pribadi berharap, konsep ini bisa dipertimbangkan dalam rangka memajukan dunia pariwisata khususnya dan masyarakat Sumatera Barat umumnya. Sejauh pengamatan kami, negara atau daerah yang pariwisatanya maju, akan mampu memakmurkan masyarakatnya secara massif. Tentu pariwisata yang tidak menafikan keberadaan adat istiadat yang kita miliki.
Alhamdulillah, dunia sudah mulai mengenal konsep pariwisata halal, dan tentunya kita bisa menyasar wisatawan dari negara-negara yang juga sejalan dengan konsep wisata halal ini yang jumlahnya juga tidak kalah banyak. Wallahua’lam bisshowab.
28 November 2018
Riza Falepi