Jakarta | tipikal.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan tujuh tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di lingkungan PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) untuk periode 2018–2023. Salah satu tersangka utama adalah Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan (RS).
Kejagung mengungkapkan bahwa RS diduga melakukan pembelian bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite (RON 90) dengan harga Pertamax (RON 92), kemudian mencampurnya untuk dijual kembali sebagai Pertamax. Praktik ini menyebabkan ketidaksesuaian dalam perhitungan harga dan subsidi BBM yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“RS melakukan pembelian untuk RON 92 (Pertamax), padahal sebenarnya hanya membeli RON 90 (Pertalite) atau lebih rendah, lalu mengoplosnya,” ujar Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus dalam konferensi pers di Jakarta, Senin, (24/02/2025).
Modus Operandi dan Tersangka Lain
Selain RS, Kejagung juga menetapkan enam tersangka lain yang diduga terlibat dalam berbagai praktik ilegal, seperti impor minyak mentah melalui perantara (broker), manipulasi harga, dan penggelembungan (mark-up) kontrak pengiriman. Mereka adalah:
- Sani Dinar Saifuddin (SDS) – Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional
- Yoki Firnandi (YF) – Direktur Utama PT Pertamina International Shipping
- Agus Purwono (AP) – VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional
- Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR) – Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa
- Dimas Werhaspati (DW) – Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim
- Gading Ramadhan Joedo (GRJ) – Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak
Menurut Kejagung, para tersangka secara sistematis menurunkan produksi kilang dalam negeri agar kebutuhan minyak mentah harus dipenuhi melalui impor. Impor ini dilakukan melalui broker dengan harga yang jauh lebih tinggi dibandingkan harga produksi dalam negeri.
Selain itu, terdapat manipulasi dalam pengadaan impor minyak mentah dan produk kilang, di mana para tersangka bekerja sama untuk memenangkan broker tertentu secara melawan hukum.
Kerugian Negara Rp 193,7 Triliun
Akibat dari berbagai praktik ilegal ini, negara mengalami kerugian yang sangat besar, diperkirakan mencapai Rp 193,7 triliun. Kerugian tersebut berasal dari beberapa faktor, termasuk:
- Ekspor minyak mentah dalam negeri secara tidak semestinya
- Impor minyak mentah melalui perantara dengan harga yang jauh lebih tinggi
- Impor BBM yang dikendalikan oleh pihak tertentu
- Pemberian kompensasi dan subsidi yang tidak semestinya
“Akibat adanya beberapa perbuatan melawan hukum tersebut, telah mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp 193,7 triliun,” ujar Kejagung.
Penahanan dan Proses Hukum
Saat ini, ketujuh tersangka telah ditahan untuk proses hukum lebih lanjut dan akan menjalani penahanan selama 20 hari ke depan. Kejagung menegaskan bahwa pihaknya akan terus melakukan pengusutan guna mengungkap kemungkinan keterlibatan pihak lain dalam kasus ini.
Kasus ini diharapkan menjadi momentum perbaikan tata kelola di tubuh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), khususnya di lingkungan Pertamina, agar dapat memberikan kontribusi terbaik bagi kesejahteraan masyarakat dan mencegah praktik korupsi serupa di masa mendatang.
Dampak pada Harga BBM dan Subsidi
Dugaan korupsi ini juga berdampak langsung pada harga BBM dan subsidi dari APBN. Manipulasi harga dan pengelolaan minyak mentah yang tidak transparan berpotensi meningkatkan beban subsidi yang harus ditanggung pemerintah, yang pada akhirnya bisa memengaruhi harga BBM yang dibayar oleh masyarakat.
Pemerintah saat ini sedang mengevaluasi kebijakan terkait impor dan distribusi BBM agar praktik serupa tidak terulang di masa mendatang. (*)