Payakumbuh | tipikal.com — Belakangan ini, muncul banyak pertanyaan di tengah masyarakat mengenai boleh tidaknya seorang kepala daerah yang berprofesi sebagai dokter membuka praktik medis pada hari libur atau di luar jam kerja pemerintahan.
Isu ini mencuat setelah beberapa kepala daerah di Indonesia diketahui masih aktif menjalankan profesi kedokterannya meskipun telah menjabat sebagai pejabat publik. Publik pun menyoroti dari sisi etika dan hukum, apakah hal tersebut dibenarkan atau justru menyalahi aturan.
Menanggapi hal itu, secara hukum tidak ada larangan eksplisit yang melarang kepala daerah tetap berpraktik sebagai dokter. Aktivitas tersebut diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, etika profesi, dan tidak mengganggu tugas utama sebagai kepala daerah.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memang mengatur larangan rangkap jabatan bagi kepala daerah. Namun, larangan tersebut terbatas pada jabatan sebagai pejabat negara lain, direksi atau komisaris di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
“Profesi dokter tidak termasuk dalam kategori jabatan yang dilarang. Jadi, secara normatif, kepala daerah tetap bisa menjalankan profesi kedokterannya selama dilakukan di luar jam kerja dan tidak memanfaatkan fasilitas negara,” ujar pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Dr. Fadli Arif, Senin, (13/10/2025).
Menurutnya, tugas utama kepala daerah adalah memimpin penyelenggaraan pemerintahan di wilayahnya. Karena itu, praktik dokter yang dilakukan di luar jam kerja pemerintahan, seperti pada sore hari atau akhir pekan, tidak dianggap menyalahi aturan.
Namun demikian, ia mengingatkan agar kepala daerah menjaga batas profesionalitas dan tidak mencampuradukkan kepentingan jabatan dengan kegiatan profesi. “Etika publik harus dijaga. Jangan sampai ada kesan menggunakan jabatan untuk menarik pasien atau keuntungan pribadi,” tambahnya.
Beberapa daerah di Indonesia juga memiliki contoh kepala daerah yang masih aktif berpraktik dengan izin resmi. Mereka membuka praktik terbatas di waktu senggang tanpa mengganggu pelaksanaan tugas pemerintahan dan tetap mendapatkan apresiasi masyarakat.
Kepala daerah yang ingin tetap membuka praktik juga wajib memiliki Surat Izin Praktik (SIP) yang masih berlaku sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Hal ini juga ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Direktur Fasilitasi Kepala Daerah dan DPRD Kemendagri, Budi Santoso, mengatakan pihaknya tidak mempermasalahkan kepala daerah yang tetap menjalankan profesi dokter selama tidak melanggar aturan kepegawaian dan etika publik.
“Tidak ada ketentuan yang melarang dokter yang jadi kepala daerah untuk tetap berpraktik. Namun kami tekankan, tanggung jawab sebagai kepala daerah harus menjadi prioritas utama,” kata Budi saat dikonfirmasi terpisah.
Ia juga menegaskan bahwa setiap aktivitas di luar tugas pemerintahan tidak boleh menggunakan fasilitas jabatan, kendaraan dinas, atau aset pemerintah daerah. “Selama dijalankan dengan integritas dan tidak menimbulkan konflik kepentingan, itu diperbolehkan,” ujarnya.
Dalam Pasal 76 ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 disebutkan bahwa larangan rangkap jabatan hanya berlaku bagi kepala daerah yang merangkap sebagai pejabat negara lainnya. Dengan demikian, profesi dokter tidak termasuk dalam kategori tersebut.
Dengan berbagai ketentuan itu, dapat disimpulkan bahwa kepala daerah yang berprofesi sebagai dokter diperbolehkan membuka praktik pada hari libur atau di luar jam kerja, selama tetap mematuhi peraturan, menjunjung etika profesi, dan tidak mengorbankan tanggung jawabnya sebagai pemimpin daerah. (tpk)